Sunday, March 19, 2006

Falsafah Gerak

Alhamdulillah, saya berkesempatan membaca buku “Membudayakan Etos Kerja Muslim” karya KH Toto Tasmara, walaupun cuma pinjam dari teman :). Buku ini banyak menginspirasi agar kita memiliki semangat untuk memberikan pengaruh positif kepada lingkungan kita dengan memegang motto “bekerja itu ibadah, berprestasi itu indah”. Salah satunya adalah penjelasan tentang falsafah gerak.

“Bergeraklah kamu, karena diam bisa mematikan.”

Sebagai pertanda bahwa kita masih hidup adalah jantung kita yang terus bergerak, jantung terus bekerja mengalirkan darah ke seluruh tubuh kita. Seperti itulah seharusnya kita hidup di dunia, terus bergerak, terus bekerja mengarungi setiap penjuru di sepanjang rentang hidup kita. Ketika kita berhenti bergerak, maka saat itulah kita justru membunuh diri kita sendiri, ketika otak tidak diajak berfikir, maka ia akan tumpul dan tidak mampu lagi menghasilkan ide-ide cemerlang. Ketika otot dan sendi-sendi kita tidak bergerak, maka sendi akan jadi kaku, otot akan mengecil dan akhirnya tubuh kita menjadi susah digerakkan. Ketika kita dalam kondisi seperti itu, dimana otak tidak mau diajak berfikir dan tubuh tidak mau digerakkan, maka sama saja kita “mati”, walaupun jantung masih berdetak, tapi kita telah mati dalam hidup. Jadi gerak itulah yang menjadikan hidup kita menjadi bermakna.

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di permukaan bumi, dan carilah karunia Allah…” (QS Al Jumu’ah:10)
Sebagai seorang muslim, kita tidak terpenjara dalam ibadah ritual saja. Tapi ayat tadi menginspirasi kita untuk mampu mengambil makna dari setiap ibadah yang kita lakukan. Puncak dari rukun Islam adalah haji, Dalam berhaji terdapat berbagai makna yang seharusnya menjadi motivasi besar kita untuk menjadi pribadi yang tehormat dan beretos kerja tinggi.

Diawali dengan ihram, seakan-akan menggambarkan bahwa kita akan melakukan simulasi kematian. Nurani kita diingatkan bahwa hidup kita tidak lain mengarah pada kematian. Setelah menyadari hakikat kematian, kemudian bergeraklah mengarungi seluruh penjuru dunia.

Thawaf, mengelilingi kabah berbentuk segi empat, diawali dari garis coklat yang sejajar batu hitam, bergerak melawan jaruh jam sebanyak tujuh kali. Mengapa kita mengelilingi kabah yang berbentuk segi empat, bukan segi tiga? Kita diingatkan agar mengarungi seluruh penjuru mata angin, betapa dunia ini global, tidak sempit, di dalamnya ada berbagai hikmah yang bisa kita raih. Bahwa hidup penuh dengan warna-warni (plural). Ingatlah putaran kita harus tujuh putaran, karena satu pekan itu ada tujuh hari, dan kita bergerak melawan jarum jam berarti kita harus terus bergerak menghadapi setiap tantangan yang ada. Bahwa hidup adalah perjuangan, adanya ujian justru akan menguatkan kita. Ketika thawaf diawali dari garis coklat, maka dalam hidup, ketika kita bergerak diawali dari pintu rumah kita, terus bergerak mengelilingi karunia Allah, menebarkan prestasi, sampai ketika senja menjelang kita sampai di rumah untuk mengulang perjalanan di esok selanjutnya lagi.

Setelah thawaf, kemudian diteruskan dengan sa’i yang berarti ikhtiar (yaitu memilih yang terbaik). Mengawali ikhtiar dengan hati yang bersih dan suci (shafa) untuk meraih cita-cita dan mewujudkan harapan jadi pribadi mulia dan terhormat (marwah).

Setelah keinginan kita tercapai, maka kita bersegera untuk wukuf (berhenti), untuk melakukan kontemplasi/perenungan sehingga kita tidak menjadi takabur. Jangan terus-menerus bergerak, tapi sekali waktu kita perlu berhenti sejenak, menambatkan batin di terminal Ilahi, tafakur! Tangkaplah bayangan diri kita, bercerminlah di atas kolam yang tenang, muhasabah atas perjalanan yang telah kita lakukan. Jadikan shalat kita sebagai pelabuhan hati, berhenti sejenak untuk kemudian melanjutkan perjalanan lagi. Dan wukuf harus di Arafah! Perhentian kita harus di Padang Arafah (arafah berarti mengenal diri). Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu, barangsiapa mengenal dirinya niscaya dia mengenal RabbNya. Haji disebut sah ketika sudah wukuf di Arafah, memberi simbol bahwa seseorang yang mengenal diri (‘arafa) kemudian ditindaklanjuti dengan hanya berpihak pada kebenaran (ma’ruf) sehingga dirinya menjadi seorang yang arif!

Haji yang mabrur. Mabrur berasal dari kata al-birru yang berarti kebenaran. Maka haji mabrur adalah haji yang selalu berpihak pada kebenaran.

No comments: